Gentrifikasi: Dilema Pembangunan Kota yang Menggusur Warga Lokal
- account_circle Muhamad Fatoni
- calendar_month 11 jam yang lalu
- visibility 3
- comment 0 komentar

Sebuah kawasan kota yang tadinya sepi tiba-tiba ramai dengan kafe-kafe trendi, butik modern, dan ruang seni. Tampilannya menjadi lebih bersih, aman, dan menarik. Fenomena inilah yang disebut gentrifikasi: proses transformasi sebuah lingkungan dari yang semula dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah menjadi kawasan bagi kelas menengah ke atas. Namun, di balik wajah baru yang gemerlap, tersimpan dilema besar.
Proses gentrifikasi biasanya dimulai dari masuknya investasi baru yang bertujuan merevitalisasi area tersebut. Hal ini memicu kenaikan harga properti dan biaya sewa yang meroket. Bagi pemilik properti, ini adalah keuntungan. Namun, bagi warga lokal yang telah lama tinggal di sana—terutama para penyewa dan pedagang kecil—kenaikan biaya hidup ini menjadi beban yang tak tertanggungkan.
Inilah sisi gelap dari pembangunan kota yang tidak terencana dengan baik. Secara perlahan namun pasti, warga asli terpaksa pindah mencari tempat tinggal yang lebih terjangkau. Proses ini tidak hanya menggusur orang secara fisik, tetapi juga mengikis identitas budaya dan ikatan sosial yang telah terbentuk selama puluhan tahun. Warung makan legendaris digantikan restoran mahal, dan rasa kebersamaan komunitas luntur tergerus individualisme.
Dampak gentrifikasi menjadi pengingat bahwa pembangunan tidak boleh hanya berfokus pada estetika dan keuntungan ekonomi. Tanpa kebijakan yang inklusif, seperti penyediaan hunian terjangkau atau kontrol sewa, modernisasi sebuah kawasan justru menciptakan ketidakadilan sosial.
Pada akhirnya, tantangan terbesar bagi perencana kota adalah menyeimbangkan kemajuan dengan kemanusiaan, memastikan bahwa pembangunan dapat dinikmati oleh semua kalangan, bukan hanya segelintir orang yang mampu membayar harga mahal untuk sebuah “kemajuan”.
- Penulis: Muhamad Fatoni
Saat ini belum ada komentar