Ekonomi Gig (Gig Economy): Fleksibilitas Kerja dengan Tantangan Kesejahteraan
- account_circle Muhamad Fatoni
- calendar_month Sab, 12 Jul 2025
- visibility 4
- comment 0 komentar

Di kota-kota besar Indonesia, pemandangan pengemudi ojek online dan kurir paket sudah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan sehari-hari. Mereka adalah wajah terdepan dari Ekonomi Gig (Gig Economy), sebuah model pasar kerja yang ditandai oleh kontrak jangka pendek atau pekerjaan lepas (freelance), bukan pekerjaan permanen.
Model ini, yang juga mencakup para pekerja lepas di bidang kreatif, IT, dan konsultasi, menawarkan sebuah daya tarik utama: fleksibilitas.
Di satu sisi, ekonomi gig memberikan kemandirian bagi pekerjanya. Mereka dapat menentukan sendiri kapan dan berapa lama akan bekerja, memberikan kontrol penuh atas waktu dan potensi penghasilan. Bagi banyak orang, ini adalah peluang untuk mendapatkan pendapatan tambahan atau bahkan menjadi sumber penghidupan utama dengan hambatan masuk yang relatif rendah.
Namun, di balik fleksibilitas tersebut, terdapat tantangan kesejahteraan yang signifikan. Mayoritas pekerja gig beroperasi dengan status “mitra”, bukan karyawan. Konsekuensinya, mereka sering kali tidak mendapatkan hak-hak dasar yang dinikmati pekerja formal, seperti upah minimum yang terjamin, jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan (BPJS), tunjangan hari raya (THR), hingga dana pensiun atau pesangon.
Ketidakpastian pendapatan menjadi risiko harian, di mana penghasilan sangat bergantung pada permintaan platform dan algoritma yang terus berubah.
Kini, pada pertengahan tahun 2025, perbincangan tidak lagi tentang menolak ekonomi gig, melainkan bagaimana menatanya. Menciptakan sebuah ekosistem yang adil, di mana fleksibilitas tidak harus mengorbankan jaring pengaman sosial, menjadi tantangan utama bagi pemerintah, penyedia platform, dan masyarakat.
- Penulis: Muhamad Fatoni
Saat ini belum ada komentar