Ekonomi Kebahagiaan: Apakah Uang Benar-Benar Bisa Membeli Kebahagiaan?
- account_circle Muhamad Fatoni
- calendar_month 16 jam yang lalu
- visibility 4
- comment 0 komentar

Pepatah lama mengatakan bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Namun, apakah hal itu sepenuhnya benar? Selamat datang di dunia ekonomi kebahagiaan, sebuah cabang ilmu yang secara ilmiah mengukur hubungan kompleks antara kondisi ekonomi dan kesejahteraan subjektif seseorang. Bidang ini mencoba menjawab pertanyaan yang telah lama menghinggapi kita: sejauh mana uang memengaruhi kebahagiaan?
Penelitian dalam ekonomi kebahagiaan menunjukkan bahwa hubungan antara uang dan kebahagiaan tidaklah sesederhana itu. Jawabannya adalah ya, uang dapat “membeli” kebahagiaan, tetapi hanya sampai titik tertentu. Ketika seseorang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar—seperti makanan, tempat tinggal yang layak, dan akses kesehatan—peningkatan pendapatan secara signifikan meningkatkan tingkat kebahagiaan dan menurunkan tingkat stres. Uang dalam konteks ini adalah alat vital untuk mencapai stabilitas dan keamanan.
Namun, efek ini mulai berkurang setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Fenomena ini dikenal sebagai “paradoks Easterlin” atau titik jenuh kebahagiaan. Setelah mencapai tingkat pendapatan tertentu, tambahan uang tidak lagi memberikan peningkatan kebahagiaan yang sepadan. Pada titik ini, faktor-faktor lain menjadi jauh lebih penting untuk kesejahteraan jangka panjang.
Kualitas hubungan sosial, kesehatan fisik dan mental, rasa memiliki tujuan hidup, serta keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi terbukti menjadi pendorong kebahagiaan yang lebih kuat daripada sekadar saldo di rekening bank.
Kesimpulannya, ekonomi kebahagiaan mengajarkan kita bahwa uang adalah fondasi penting, bukan keseluruhan bangunan. Uang dapat membebaskan kita dari penderitaan akibat kemiskinan, tetapi untuk mencapai puncak kebahagiaan sejati, kita harus berinvestasi pada hal-hal yang tidak ternilai harganya.
- Penulis: Muhamad Fatoni
Saat ini belum ada komentar