Pajak Digital: Menakar Kewajiban Raksasa Teknologi di Era Global
- account_circle Muhamad Fatoni
- calendar_month Ming, 13 Jul 2025
- visibility 3
- comment 0 komentar

Era digital telah melahirkan raksasa teknologi global seperti Google dan Facebook yang meraup keuntungan besar dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun, memajaki perusahaan-perusahaan ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah di seluruh dunia. Mengapa demikian?
Model bisnis perusahaan teknologi sering kali tidak memiliki kehadiran fisik yang signifikan di negara tempat mereka menghasilkan pendapatan. Mereka beroperasi secara lintas batas, menawarkan layanan digital kepada jutaan pengguna tanpa mendirikan kantor cabang atau pabrik. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang yurisdiksi pajak: di mana seharusnya keuntungan mereka dikenakan pajak?
Tantangan Utama Pemajakan Digital:
* Definisi “Kehadiran”: Aturan pajak tradisional umumnya mensyaratkan adanya “kehadiran tetap” (permanent establishment) di suatu negara agar perusahaan dapat dikenakan pajak di sana. Raksasa teknologi sering kali menghindari definisi ini, meskipun memiliki banyak pengguna aktif dan menghasilkan pendapatan signifikan.
* Penentuan Nilai: Bagaimana cara mengukur nilai kontribusi pengguna dalam menciptakan pendapatan bagi platform digital? Misalnya, bagaimana nilai data pengguna Indonesia berkontribusi pada pendapatan iklan Google atau Facebook? Menentukan basis pajak yang adil menjadi rumit.
* Penghindaran Pajak: Perusahaan multinasional sering kali memanfaatkan celah dalam peraturan pajak internasional untuk mengalihkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah (tax haven). Praktik ini sah secara hukum namun dianggap tidak adil oleh banyak negara.
Upaya Global dan Nasional:
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) telah menginisiasi berbagai upaya untuk mengatasi tantangan pajak digital melalui kerangka kerja Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dan Pilar Dua tentang tarif pajak minimum global.
Indonesia sendiri telah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk dan layanan digital dari luar negeri sejak tahun 2020. Langkah ini merupakan upaya untuk mengenakan pajak atas konsumsi digital, meskipun belum sepenuhnya mengatasi isu pajak penghasilan perusahaan.
Menemukan solusi yang adil dan efektif untuk memajaki raksasa teknologi adalah perjuangan berkelanjutan. Ini membutuhkan kerja sama internasional dan pembaruan regulasi yang sesuai dengan realitas ekonomi digital abad ke-21.
- Penulis: Muhamad Fatoni
Saat ini belum ada komentar