Nasi Kucing: Filosofi Kesederhanaan dalam Bungkus Daun Pisang
- account_circle Muhamad Fatoni
- calendar_month Sel, 16 Sep 2025
- visibility 7
- comment 0 komentar

Siapa pun yang pernah berkunjung ke Yogyakarta pasti tak asing dengan Nasi Kucing. Makanan ikonik ini bukan sekadar hidangan, melainkan simbol kuat dari budaya angkringan yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan kebersamaan. Dinamakan “nasi kucing” karena porsinya yang sangat mini, mirip porsi makan seekor kucing.
Dalam sebungkus kecil nasi yang dibungkus daun pisang, biasanya terdapat sejumput nasi, sedikit sambal, dan lauk pelengkap seperti ikan teri atau oseng tempe. Meskipun sederhana, kombinasi ini menciptakan rasa yang pas dan sangat menggugah selera. Sensasi hangat dan aroma khas daun pisang yang dibakar menambah kenikmatan saat menyantapnya.
Nasi Kucing menjadi jantung dari setiap angkringan. Tempat-tempat makan kaki lima ini menjadi ruang demokratis di mana semua kalangan, dari mahasiswa hingga eksekutif, bisa duduk bersama, berbagi cerita, dan menikmati hidangan murah meriah. Harga yang sangat terjangkau menjadikan Nasi Kucing pilihan utama bagi banyak orang, terutama yang ingin mengisi perut tanpa menguras dompet.
Filosofi kesederhanaan ini adalah inti dari daya tarik angkringan. Di tengah kehidupan kota yang serba cepat, angkringan menawarkan jeda. Di sana, Anda bisa menikmati Nasi Kucing dengan segelas teh panas atau kopi jos, ditemani obrolan santai dan suasana malam Yogyakarta yang syahdu.
Lebih dari sekadar makanan, Nasi Kucing adalah representasi dari keramahan dan egaliterisme masyarakat Yogyakarta. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bisa ditemukan dalam hal-hal kecil dan sederhana. Jadi, jika Anda ke Jogja, jangan lewatkan pengalaman menikmati Nasi Kucing di angkringan, karena itu adalah cara terbaik untuk merasakan jiwa kota ini.
- Penulis: Muhamad Fatoni
Saat ini belum ada komentar