Ngurek: Memahami Tradisi ‘Menusuk Diri’ Saat Trans Sakral di Bali
- account_circle Muhamad Fatoni
- calendar_month Jum, 11 Jul 2025
- visibility 3
- comment 0 komentar

Bali dikenal dengan budayanya yang kaya, mulai dari tarian yang indah hingga upacara keagamaan yang khusyuk. Di antara ritual tersebut, terdapat satu tradisi yang paling ekstrem dan sering disalahpahami, yaitu Ngurek atau Ngunying. Ini adalah ritual di mana pesertanya, dalam kondisi trans (kerauhan), mencoba menusukkan keris ke tubuh mereka sendiri.
Penting untuk dipahami, Ngurek bukanlah pertunjukan ilmu kebal atau aksi kekerasan, melainkan puncak dari sebuah prosesi upacara keagamaan yang sakral. Tradisi ini biasanya menjadi bagian dari rangkaian upacara di pura, sering kali setelah pementasan tari sakral seperti Barong dan Rangda. Peserta yang melakukan Ngurek tidak berada dalam kesadaran penuh.
Puncak Pengabdian dan Keseimbangan
Para pelaku Ngurek diyakini sedang dirasuki oleh roh suci atau pengiring dewa (dewa/bhatara). Dalam kondisi trans inilah, mereka mengambil keris dan menekankannya ke bagian tubuh seperti dada, leher, atau dahi. Ajaibnya, dalam kondisi puncak spiritual ini, keris tersebut sering kali tidak mampu melukai kulit mereka.
Fenomena kebal dari senjata tajam ini bukanlah tujuan utama, melainkan sebuah pertanda. Hal ini diyakini sebagai tanda bahwa para dewa berkenan hadir, menerima persembahan, dan memberikan perlindungan-Nya. Jika pelaku sampai terluka, itu bisa dianggap sebagai pertanda adanya ketidaksiapan spiritual atau gangguan dalam upacara.
Ngurek adalah bentuk pengabdian tertinggi, sebuah dialog antara manusia dengan alam niskala (dunia tak kasat mata). Tradisi ini menjadi simbol penyerahan diri secara total kepada Tuhan dan kekuatan alam, serta upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebaikan (Dharma) dan keburukan (Adharma). Ini adalah ritual iman yang mendalam, jauh dari sekadar tontonan yang memacu adrenalin.
- Penulis: Muhamad Fatoni
Saat ini belum ada komentar