Tato Mentawai: Seni Rajah Tubuh Tertua di Dunia yang Sarat Makna
- account_circle Muhamad Fatoni
- calendar_month Jum, 4 Jul 2025
- visibility 4
- comment 0 komentar

Jauh di lepas pantai barat Sumatera, Kepulauan Mentawai adalah rumah bagi salah satu tradisi paling kuno di dunia: seni rajah tubuh atau tato. Dikenal secara lokal sebagai titi atau sipatiti, tradisi ini diyakini oleh banyak peneliti sebagai seni tato tertua di dunia, bahkan mendahului tato Mesir kuno. Namun, bagi Suku Mentawai, tato bukan sekadar hiasan, melainkan sebuah “pakaian abadi” yang sarat dengan identitas, spiritualitas, dan kearifan lokal.
Setiap goresan tinta pada tubuh seorang Mentawai adalah sebuah narasi visual. Tato berfungsi sebagai kartu identitas yang mencatat asal-usul, suku, status sosial, keahlian, hingga pengalaman hidup pemiliknya, misalnya sebagai seorang pemburu ulung. Menurut kepercayaan Arat Sabulungan yang dianut Suku Mentawai, tato adalah satu-satunya harta yang akan dibawa mati. Mereka percaya bahwa setelah kematian, tato akan berubah menjadi cahaya yang akan menuntun roh mereka untuk bertemu dengan leluhur di alam baka.
Proses pembuatan tato ini sangat sakral dan dilakukan oleh seorang ahli yang disebut sipatiti. Dengan menggunakan peralatan tradisional seperti gagang kayu sebagai pemukul dan duri atau jarum yang dicelupkan ke dalam pewarna alami dari arang, sipatiti dengan teliti merajah tubuh. Motif yang digambarkan sangat terinspirasi dari alam sekitar, seperti garis yang melambangkan pohon sagu, titik-titik yang menyerupai buah beri, lengkungan seperti rotan, hingga bentuk-bentuk hewan seperti monyet, buaya, dan burung. Semua motif ini adalah cerminan dari filosofi hidup mereka yang selalu menjaga keseimbangan dengan alam.
Di tengah gempuran zaman modern, tradisi tato Mentawai menghadapi tantangan untuk bertahan. Namun, seni rajah kuno ini tetap menjadi bukti nyata kekayaan budaya Indonesia yang luar biasa. Tato Mentawai adalah sebuah warisan tak benda yang tak ternilai, sebuah buku cerita hidup yang terukir di atas kulit manusia.
- Penulis: Muhamad Fatoni
Saat ini belum ada komentar