Tedak Siten: Makna di Balik Tradisi Injak Tanah Pertama bagi Bayi Jawa
- account_circle pinter dikit
- calendar_month Ming, 29 Jun 2025
- visibility 3
- comment 0 komentar

Dalam khazanah budaya Jawa yang kaya, Tedak Siten menjadi salah satu upacara adat yang penuh makna. Berasal dari kata “tedak” (turun atau menginjak) dan “siten” atau “siti” (tanah), tradisi ini digelar saat seorang bayi berusia sekitar tujuh atau delapan bulan, sebagai penanda ia siap untuk pertama kalinya menapakkan kaki di bumi.
Upacara ini bukan sekadar perayaan, melainkan sebuah ritual yang sarat dengan doa dan harapan orang tua untuk masa depan anaknya. Tedak Siten menjadi simbol bahwa sang anak mulai memasuki babak baru kehidupannya, berinteraksi langsung dengan alam, dan bersiap untuk berjalan mandiri di bawah bimbingan keluarga.
Filosofi dalam Setiap Prosesi
Setiap tahapan dalam Tedak Siten memiliki simbolisme yang mendalam. Prosesi diawali dengan membersihkan kaki si bayi, melambangkan awal perjalanan hidup yang suci. Kemudian, bayi dituntun untuk berjalan di atas tujuh buah jadah (kue dari ketan) aneka warna. Tujuh warna ini merepresentasikan berbagai rintangan kehidupan, sementara angka tujuh (pitu dalam bahasa Jawa) diartikan sebagai harapan akan pitulungan atau pertolongan dari Tuhan.
Salah satu prosesi ikonik adalah saat anak dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang telah dihias. Di dalamnya, diletakkan berbagai benda seperti buku, mainan, atau uang. Benda yang dipilih oleh sang bayi dipercaya sebagai gambaran minat dan profesinya di masa depan. Ritual ditutup dengan memandikan bayi dengan air kembang dan menyebar udhik-udhik (beras kuning dan uang logam) sebagai simbol harapan akan kemakmuran dan sifat dermawan.
Lebih dari sekadar tradisi, Tedak Siten adalah wujud syukur, pendidikan karakter sejak dini, dan jalinan doa agar anak tumbuh menjadi pribadi yang kuat, mandiri, serta bermanfaat bagi sesama.
- Penulis: pinter dikit
Saat ini belum ada komentar