Tradisi Pingitan Calon Pengantin: Masih Relevankah di Era Modern?
- account_circle Muhamad Fatoni
- calendar_month Ming, 13 Jul 2025
- visibility 4
- comment 0 komentar

Di tengah derasnya arus modernisasi, banyak tradisi pernikahan di Indonesia yang mulai dipertanyakan eksistensinya, salah satunya adalah tradisi pingitan calon pengantin. Praktik yang mengharuskan calon mempelai, terutama wanita, untuk tidak keluar rumah dalam kurun waktu tertentu sebelum hari pernikahan ini sering dianggap usang. Lantas, masihkah tradisi ini relevan?
Makna Filosofis di Balik Pingitan
Pada intinya, pingitan bukan sekadar larangan fisik. Tradisi ini menyimpan makna filosofis yang dalam. Pertama, tujuannya adalah untuk melindungi calon pengantin dari potensi bahaya atau hal-hal negatif menjelang hari istimewanya. Kedua, masa pingitan menjadi momen berharga bagi calon mempelai untuk fokus pada perawatan diri, baik secara fisik maupun mental. Ini adalah waktu untuk refleksi, menenangkan hati, dan mempersiapkan jiwa untuk memasuki babak baru kehidupan. Momen “saling merindu” yang tercipta juga dipercaya dapat menambah sakralnya pertemuan di hari pernikahan.
Adaptasi dan Relevansi Masa Kini
Tantangan terbesar tradisi pingitan saat ini adalah kesibukan. Banyak calon pengantin yang bekerja atau tinggal berjauhan (LDR), sehingga pingitan total selama berminggu-minggu menjadi tidak praktis. Namun, bukan berarti tradisi ini harus ditinggalkan sepenuhnya.
Relevansi pingitan di era modern terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi. Banyak pasangan kini menjalankan “pingitan modern” dengan cara:
* Mengurangi durasi: Dari berminggu-minggu menjadi beberapa hari sebelum akad nikah.
* Mengubah bentuk: Bukan isolasi total, melainkan komitmen untuk tidak bertemu langsung dan mengurangi aktivitas luar yang tidak perlu.
* Memaknai esensinya: Menjadikan periode ini sebagai waktu untuk digital detox, istirahat cukup, dan quality time bersama keluarga inti.
Kesimpulan
Jadi, relevan atau tidaknya tradisi pingitan calon pengantin sangat bergantung pada cara kita memaknainya. Jika dipandang sebagai aturan kaku, mungkin terasa memberatkan. Namun, jika esensinya—yaitu persiapan mental dan fisik—yang diambil, tradisi ini tetap memiliki nilai dan dapat menjadi bagian yang indah dari perjalanan menuju pernikahan di zaman sekarang.
- Penulis: Muhamad Fatoni
Saat ini belum ada komentar