Tradisi Lisan Didong Gayo: Adu Puisi Semalam Suntuk
- account_circle Muhamad Fatoni
- calendar_month Kam, 10 Jul 2025
- visibility 4
- comment 0 komentar

Dari dataran tinggi Gayo, Aceh, lahirlah sebuah tradisi lisan yang memukau bernama Didong Gayo. Ini bukan sekadar pertunjukan seni biasa, melainkan sebuah perpaduan harmonis antara sastra (puisi), vokal, dan gerak tepuk tangan yang penuh makna. Didong Gayo telah menjadi media dakwah, pendidikan, dan perekat sosial bagi masyarakat Gayo selama berabad-abad.
Pertunjukan Didong Gayo biasanya berupa sebuah kompetisi atau adu puisi yang bisa berlangsung semalam suntuk. Dua kelompok akan saling berhadapan, masing-masing dipimpin oleh seorang seniman ahli yang disebut ceh. Sambil duduk bersila, mereka akan melantunkan syair secara bergantian, diiringi tepukan bantal kecil dan tangan yang menciptakan irama khas dan membangkitkan semangat penonton.
Keindahan Didong tidak hanya terletak pada iramanya, tetapi juga pada kedalaman liriknya. Syair yang dilantunkan seringkali berisi nasihat, kritik sosial, sejarah, ajaran agama, hingga humor. Melalui adu puisi ini, para ceh beradu kecerdasan dalam merangkai kata, menyampaikan pesan moral, dan mempertahankan nilai-nilai luhur budaya Gayo.
Sebagai salah satu seni Gayo yang paling berharga, Didong Gayo telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Tradisi ini adalah bukti hidup bagaimana sebuah komunitas merawat ingatan kolektif dan kearifan lokalnya. Didong adalah panggung intelektual rakyat yang terus bergema, menjaga denyut kebudayaan di Aceh Tengah dan sekitarnya.
- Penulis: Muhamad Fatoni
Saat ini belum ada komentar