Dugderan: Tradisi Unik Semarang Menyambut Ramadan dengan Warak Ngendog
- account_circle pinter dikit
- calendar_month 5 jam yang lalu
- visibility 3
- comment 0 komentar

Menjelang datangnya bulan suci Ramadan, Kota Semarang memiliki sebuah tradisi unik yang selalu dinanti-nanti warganya: Dugderan. Tradisi yang telah berlangsung sejak abad ke-19 ini merupakan pesta rakyat meriah yang menjadi penanda bahwa ibadah puasa akan segera dimulai, dengan ikon khasnya yang legendaris, Warak Ngendog.
Nama “Dugderan” sendiri berasal dari gabungan dua suara yang menjadi penanda dimulainya tradisi ini pada zaman dahulu. Suara “dug” berasal dari bunyi bedug Masjid Agung Kauman Semarang yang ditabuh berkali-kali, sementara suara “der” adalah tiruan dari bunyi dentuman meriam yang ditembakkan dari halaman pendopo kabupaten.
Kirab Budaya dan Ikon Akulturasi
Prosesi Dugderan modern berupa kirab budaya atau karnaval yang dimulai dari Balai Kota Semarang dan berakhir di Masjid Agung Kauman. Karnaval ini diikuti oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari pelajar, abdi negara, hingga kelompok seni yang menampilkan atraksi menarik. Puncak acara adalah saat Wali Kota Semarang membacakan suhuf halaqah, sebuah pengumuman resmi kepada masyarakat bahwa Ramadan akan segera tiba.
Ikon utama yang tak bisa dipisahkan dari Dugderan adalah Warak Ngendog. Ini adalah hewan mitologis dengan wujud kepala naga (simbol etnis Tionghoa), badan unta (simbol etnis Arab), dan kaki kambing (simbol etnis Jawa). Sosok ini melambangkan harmoni dan akulturasi budaya yang erat di Semarang. Kata ngendog (bertelur) sendiri bermakna bahwa setelah sebulan penuh berpuasa, umat Muslim akan mendapatkan pahala di hari kemenangan.
Lebih dari sekadar festival, Dugderan adalah ekspresi kegembiraan, simbol persatuan, dan cara masyarakat Semarang melestarikan kearifan lokal dalam menyambut bulan yang suci.
- Penulis: pinter dikit
Saat ini belum ada komentar